Pages

.:: Selamat Membaca semoga bermanfaat. Amin ::.

Info tentang Komodo - Kelimutu

How to get there?













Dari Jakarta ke Denpasar.
Lanjut penerbangan ke Labuan Bajo (Pulau Flores). Ada beberapa airline: IAT, Trigana, Transnusa. Lama perjalanan 1 jam 20 menit.

Dari Labuan Bajo ke Pulau Rinca sekitar 2,5 jam naik kapal.

Di Pulau Rinca puanas buanget.. kalo ga mau belang, mending pake clana panjang, lengan panjang n sepatu : )

Tempat2 yang bisa dimampirin di sekitar Pulau Rinca n Komodo:
-          Kampung Komodo
-          Pink Beach
-          Pulau Bidadari

Jarak Labuan Bajo – desa Moni (desa Moni terletak di kaki Kelimutu)
-          Labuan Bajo to Ruteng: 133 km (sekitar 6 jam naik bis)
-          Labuan Bajo to Bajawa: 256 km
-          Labuan Bajo to Ende: 381 km
-          Labuan Bajo to Moni: 434 km
-          Labuan Bajo to Maumere: 523 km
-          Labuan Bajo to Larantuka: 666 km
-     Labuan Bajo – desa Moni (sekitar 19 jam naik bis, termasuk istirahat n brenti makan)

Jalanan di Flores udah bagus, tp kelok2.. makanya perjalanannya jadi lama banget

Tempat2 yang bisa dimampirin:
-          Danau Ranamese
-          Desa Wogo di Bajawa
-          Museum Bung Karno di Ende

Dari desa Moni ke Kelimutu sekitar stengah jam naik mobil.
Jalan naik ke Kelimutu udah bagus, ada tangganya, dari tempat parkir sekitar 15 menit.

Tempat nginep di Labuan Bajo:
Bajo Hotel: 0385 41008

Tempat nginep di Ruteng:
Rima Hotel: 0385 22196

Tempat nginep di Moni:
Sa’oria Bungalow

Sumber : http://ritasan.multiply.com/journal/item/37 

Pendekatan Pada Konflik Papua

 
PAPUA, wilayah paling Timur Indonesia tak pernah reda dari gejolak. Dalam waktu seminggu terakhir tidak kurang dari  6 orang tewas tertembak, termasuk Kapolsek Mulia Kabupaten Puncak AKP Dominggus Octavianus Awes. Banyak pihak khawatir situasi terus memanas dan berdampak makin burukk bagi rakyat Papua bila pemerintah tak segera mengubah cara pendekatan yang selama ini digunakan untuk menyelesaikan konflik, dari pendekatan militeristik ke cara persuasif dengan mengutamak dialog.
 Sesungguhnya konflik yang terus membara dii Bumi Cendrawasih sejak 1963  merupakakn konsekuensi dari kekeliruan negera merancang skeanario perubahan dan pembangunan yang cenderung menafikkan kepentingan dan eksistensi masyarakat setempat. Bila dicermati setidaknya konflik Papua menampakkan tiga dimensi. Pertama; dari perspektif politis konflik itu tidak lepas dari sejarah integrasi wilayah itu menjadi RI.
Kendati hasil pepera mendapat pengakuan Internasional melalui Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 2504 (XXIV) Tahun 1969, jujur harus diakui bahwa proses tersebut menyisakan ketidakpuasan pada sebagian masyarakat Papua yang tetap menginginkan merdeka.
Keinginan sebagai rakyat Papua untuk memisahkan diri dari NKRI itu disikapi pemerintah lewat pendekatan politik melalui UU Nomor 45 Tahun 1999 tentang pemekaran wilayah dan UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi khusus (Otsus) bagi Provinsi Papua. Ketidaksiapan elit politik menyikapi kebijakan baru itu berdampak pada munculnya konflik horizontal antarkelompok masyarakat, baik antara penduduk maupun antara masyarakat adat dan pengusaha. Situasi ini juga mnybabkan pngabaian pmenuhan hak-hak dasar masyarakat Papua.
Kedua, dari perspektif ekonomi, kisruh keamanan di Papua slama ini tidak lepas dari fakta terjadinya perebutan atas pengusaan sumber daya alam yang melimpah. Kekayaan alam menjadi magnet kuat bagi investor (asing maupun lokal), pendatang (migran), dan elit politik baik dipusat maupun daerah untuk mendapatkan akses pengelolaan.  Perebutan penguasaan sumber daya alam ini berdampak pada terjadinya pelanggaran HAM di Papua.
Membangun kepercayaan
Ketiga; dari sisi kultural harus diakui kenyataan subjktif masyarakat Papua, bahwa diwilayah yang luasnya skitar tiga setengah kali pulau Jawa ini memliki sekitar  250 suku/ kelompok dengan bahasa berbeda, tersebar dipantai, perbukitan dan gunung. Mereka sangan rentan terhadap perubahan yang diintroduksi dari luar dan bersifat sepihak. Dari fakta itu maka sesugguhnya kekerasan yang terjadi di Papua tidak dapat lagi dijustifikasi sebagai usaha untuk melepaskan diri dari NKRI dan kemudian diidentifikasi sebagai gerakan separatis.
Kondisi itu lebih pada persialan keadilan dan manifestasi kekecewaan  mereka atas ketidaknyamanan, ketidakamanan, dan tidak adanya perbaikan ksejahteraan hidup. Dengan demikian, mestinya pendekatan yang dilakukan pemerintah untuk menyelsaikan masalah juga harus berubah. Pendekatan militer yang makin memperkokoh dominasi negara menyebabkan terjadinya kekerasan militer dan kekerasan politik. Situasi ini mendorong berkmbangnya asporasi politik yang justru anti NKRI.
Kesadaran penuh bahwa Papua adalah bagian dari NKRI mestinya melahirkan kesungguhan dan kpedulian semua pihak. Komitmen bersama perlu terus dibangun untuk menari solusi damai dan komprehensif. Disampinf itu, pemerintah harus lebih serius untuk menyelesaikan persoalan ktidakadilan di Papua melalui pendekatan pembangunan dengan fokus pada empat sektor utama sebagaimana diamanatkan oleh UU Otsus Papua, yaitu pndidikan, ksehatan dan gizi pemberdayaan ekonomi, serta pembagunan infrastruktur.
penyelsaian masalah Papua tidak bisa lepas dari ksungguhan pemerintah untuk mnegakkan HAM dengan menyelesaikan secara adil kasus pelanggaran HAM. Rekonsiliasi yang dibangun atas dasar penghormatan prinsip juga dapat menjadi satu pilihan cara untuk memperbaiki. pPeluangnya didasari oleh pasal 46 Otsus Papua, dan gubernur dapat mengusulkan pembentukannya. Persoalannya, adakah kemauan politik pemerintah untuk menjadikan Papua sebagai tanah damai ?

Dikutip dari : Suara Merdeka, edisi Sabtu 29 Oktober 2011.
By : Dr. Rahayu SH MHum.

Followers